Perjalanan yang ke situ-situ lagi, sebenarnya. Depok – Bogor – Jakarta. Tetapi seperti biasa, setiap episodenya selalu istimewa dan menyisakan kenangan manis. Perjalanan menutup tahun masehi 2014 tanpa rencana sama sekali. Perjalanan kali ini lebih membekas untuk ruhani. Lumayan, aku menikmatinya dengan perbanyak istighfar.
Kita mulai dengan rute Bandung – Depok pada tanggal 30 Desember 2014, yuk? Pukul delapan pagi, sudah duduk manis di dalam bus dan siap berangkat. Sebelum ponsel tewas dengan sukses, sebuah pesan masuk mendarat di Facebook. Ada undangan dari teman-teman HITS 8090 Regional Bogor untuk malam hari. Aku terpana. Rencana ke Jagakarsa sepertinya dibatalkan. Baiklah, aku menyetujuinya.
Sampai di jembatan UI (tak jauh dari flyover UI) bus MGI mogok dengan cakepnya. Menunggu 30 menit tak kunjung ada tanda mesin bus berfungsi lagi, aku dan krucil memutuskan turun dan melanjutkannya dengan angkot. Sampai di jalan Nusantara Depok I pukul 11.30 siang. Krucil minta makan siang. Akhirnya memesan mie ayam yang dahulu menjadi langganan kami.
Berkah silaturrahim pertama pun merekah. Tukang mie ayam yang sudah lama tak kujumpai, menyiapkan 3 porsi untuk kami dan semuanya gratis! Allah!♥ “Serius, No?” (nama penjual mie ayamnya adalah Yono). “Iya, Mbak. Serius. Kayak sama orang lain aja. Beneran.” Kalau aku menangis kan norak ya jadinya? Akhirnya aku bilang, “Berkah daganganmu ya, No. Sukses. Lancar. Mudah-mudahan makin laris, bisa nambah gerobak. Salam buat anak istrimu.” Yono mengamini.
Sementara krucil bersama opungnya, aku segera berangkat ke lokasi silaturrahim kedua. Studio 21 Depok Town Square. Ini pun mendadak. Aku mengetahui dari linimasa mbak Asma Nadia bahwa ada nonton bareng film Assalamu’alaikum Beijing di 21 Detos pada tanggal 30 Desember itu justru pada tanggal 29 Desember malam hari! Kelabakan, menghitung jarak dan waktu sampai di lokasi yang rasanya mustahil. Tetapi bismillah, aku nekat. Nyatanya, aku baru hadir pukul 14.00 WIB di Detos.
Aku menemui bunda Helvy, menyapanya, dan mengatakan bahwa aku kehabisan tiket. 10 menit kemudian, sebuah tiket pun sampai dalam genggaman. Keajaiban dan berkah kedua. Dzikir syukur itu membuncah dari jiwa. Allah, indahnya mengeratkan kembali hubungan antara penulis senior dan penulis pemula. 😉
Pukul lima sore, aku meluncur ke Cilebut, menuju rumah kang Kemal. Yes, lokasi untuk kopdar dadakan akan diadakan di Bukit Cimanggu City. Meski aku harus merogoh ongkos 2x dari yang seharusnya (dari ceban normalnya, aku membayar 20rb), toh tergantikan dengan lebih dari 15 teman baru yang kudapatkan dan makanan lezat tumpah ruah di sana. Alhamdulillah yaa Allah, berkah dan rezeki ketiga dalam sehari.
Belum cukup cinta Allah, aku diundang untuk menginap di rumah teh Anne. Suatu kehormatan berikutnya. Ada yang aneh. Laptopku tak berfungsi sama sekali. Mungkin pertanda dari Allah, aku harus istirahat. Bukannya malah kerja tengah malam dalam kondisi tubuh dan pikiran sudab di titik nadir. Hihihi…
31 Desember 2014. Depok pada pukul 09.15 WIB. Aku sudah sampai di Detos (LAGI) untuk bertemu dengan teman-teman dari Gerakan Nasional Anti Miras Chapter Depok. Baiklah. Kepagian. Aku bertemu kembali dengan uda Aslim yang sudah 4 tahun tidak berjumpa. Alhamdulillah, melihat beliau masih sehat, senang sekali rasanya.
Kemudian bertemu dengan Topson dan Yessy setelah sekian lama (padahal baru 1 tahunan 😛 ) juga menyenangkan. Diajak sarapan oleh Topson adalah rezeki berikutnya. Kemudian, bertemu dengan uni Fahira adalah puncak dari jadwal di Detos. Selesai shalat Dzuhur, aku segera ke masjid Baitul Ihsan yang berada di kompleks Bank Indonesia Jakarta Pusat.
Tiba di stasiun Gondangdia tepat ketika azan ashar berkumandang. Disambut hujan. Sepertinya, aku harus bersiap dengan segala kemungkinan. Aku merasa, inilah saat ujian itu tiba. Pertama, nyaris sulit mendapatkan bajaj yang bisa sepakat ongkosnya. Setelah mendapatkannya, masih harus terjebak memutar arah dari Kebon Sirih ke Tanah Abang. Sampai aku berpikir, “Bego banget tadi gak turun aja di pintu Kebon Sirih, ya?” Sampai di masjid BI, badan yang mulai terasa gak enak pun tak kupedulikan. Aku terlalu senang bertemu dengan teman-teman lama.
Akhirnya benar tak mengenakkan. Aku tumbang sejak selesai isya. Hingga tengah malam, sakit perut luar biasa. Sekitar pukul sebelas, jackpot dua kali. Luar biasa rasanya. Gemetar. Hasilnya, aku tak bisa khusyuk untuk qiyamul lail yang dimulai pada pukul dua dini hari. 3x absen hanya untuk ke WC. Nyeri seluruh sendi. Menghabiskan empat saset jamu Tolak Angin dalam enam jam. Mantaplah.
1 Januari 2015.
Puncak tujuanku ke masjid BI adalah doa setelah shalat witir. Doa yang sudah kubungkus rapi dalam ingatan dan hendak kulangitkan pada-Nya, nyaris berujung sia-sia. Sebelum akhirnya setengah sadar seperti mau pingsan, aku ingat bahwa aku masih sempat memanggil satu nama. Setelah itu semuanya gelap.
Aku tersadar persis ketika azan subuh terdengar, “Ashsholatu khoirum minannaum…” Dengan tenaga yang sudah tersisa, aku menyempurnakan mabit seadanya. Menangis di akhir doa. Apakah segalanya akan sia-sia hanya karena aku sakit mendadak? Entah.
Sakit fisik ternyata masih bisa kutahan. Ketika aku bertemu dengan seorang ustadz yang sudah enam tahun tak bertemu, hancur lebur semua pertahanan jiwaku. Beliau menanyakan hal yang sangat kuhindari selama ini. Akhirnya aku menyadari satu hal, suatu saat memang harus kuhadapi kenyataan. Pertanyaan itu harus kudengar dan beliau menunggu jawaban. Memaksa dalam pandangan matanya. Aku menjawabnya nyaris tanpa suara. Tercekat. Habis sudah semua kekuatanku.
Aku mencoba beristirahat. Pukul delapan pagi, aku meninggalkan masjid. Kesadaranku hanya setengah. Sambil beristighfar tiada lepas, aku memilih naik TransJakarta dari halte BI ke…Dukuh Atas! Bukannya ke Harmoni untuk langsung ke Lebak Bulus, aku malah berkeliling kota. Dari Lebak Bulus, aku ke Matraman, lanjut ke Kampung Melayu, dan berakhir di Pasar Rebo.
Kebodohanku masih berlanjut. Menunggu bus jurusan Jakarta – Bandung selama sejam tak menunjukkan hasil. Tubuh sudah tinggal ambruknya. Oke, aku memutuskan untuk bergerak ke terminal Kampung Rambutan. Itu pun tak langsung dapat bus. Menunggu sekitar 15 menit, baru bus membuka pintunya. Menunggu lagi 15 menit, akhirnya bus meninggalkan terminal.
Tak sempat kucatat apa nama busnya dan nopolnya. Begitu dapat tempat duduk, aku langsung tertidur. Bangun hanya untuk membayar tiket, tertidur kembali, dan bangun lagi di pintu tol Pasir Koja pukul tiga sore. Selesai? Belum. Aku turun di halte Trans Metro Bandung depan terminal Leuwipanjang, menunggu bus Damri selama… Sejam! Nikmat kan?
Sesampainya di rumah, setelah membereskan tas dan mandi, lalu shalat ashar, kemudian membuka laptop. Gila, emang! Mencoba mengerjakan beberapa tugas yang tertinggal sambil mendengarkan murottal. Selesai isya, aku terkapar dengan kondisi laptop menyala. Aku sudah tak peduli lagi.
———————
Sungguh bukan perjalanan yang mudah untukku. Oh, bukan tentang fisik yang terkuras. Ini tentang jiwaku yang merasakan ada sesuatu. Tetapi, di luar semua itu, aku tetap bersyukur kepada Allah atas satu hari lagi yang Dia berikan padaku. Setiap hari.